Kelenteng Sam Poo Kong adalah sebuah petilasan atau bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Tempat ini dulunya disebut dengan Gedong Batu. Nama ini yang berasal dari sebuah Goa batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu tetapi ada sebagian orang yang berpendapat bahwa nama itu berasal dari kata Kedong Batu yaitu tumpukan batu untuk membendung aliran sungai. Meski sampai sekarang belum ada penelitian lanjut tentang asal muasal dari nama tersebut tetapi lokasi ini tetap layak sebagi obyek wisata untuk dikunjungi.
Lokasinya berada di sebelah barat daya kota Semarang, tepatnya di daerah Simongan. Tanda yang menunjukan petilasan ini berciri keislamanan adalah dengan ditemukannya tulisan berbunyi "Marilah Kita Mengheningkan Cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an".
Orang Indonesia keturunan cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng apalagi karena bangunannya berarsitektur cina. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Padahal laksamana cheng ho adalah seorang muslim, tetapi oleh mereka di anggap dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.[1]
Sejarah
Pada awal abad ke-15 Laksamana Zheng He sedang mengadakan pelayaran menyusuri pantai laut Jawa dan sampai pada sebuah semenanjung. Karena ada awak kapal yang sakit, ia memerintahkan membuang sauh dan mendarat dengan menyusuri sebuah sungai yang sekarang dikenal dengan sungai Kaligarang. Ia mendarat di sebuah desa bernama Simongan. Setelah sampai didaratan, ia menemukan sebuah gua batu dan dipergunakan untuk tempat bersembahyang. Zeng He memutuskan menetap untuk sementara waktu ditempat tersebut. Sedangkan awak kapalnya yang sakit dirawat dan diberi obat dari ramuan dedaunan yang ada disekitar tempat itu.
Tempat tersebut sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota Semarang di akibatkan pantai utara jawa selalu mangalami pendangkalan diakibatkan adanya sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan semakin bertambah luas kearah utara.
Konon, setelah Zheng He meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan pelayarannya, banyak awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin dengan penduduk setempat. Mereka bersawah dan berladang ditempat itu. Zheng He memberikan pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
Sekilas Objek Wisata
Untuk masuk ke kawasan ini cukup merogoh kocek Rp 5000 per orang. Parkir mobil atau motor juga sudah tersedia cukup luas dan aman. Setelah masuk ke kawasan akan ada areal luas semacam alun-alun (lapangan), Bangunan Podium dan Patung Laksamana Cheng Ho.
Apabila ingin berfoto dengan menggunakan pakaian ala orang China, ada konter / outlet yang menyediakan jasa persewaan dengan harga Rp. 90.000 ( normal ) dan Rp. 150.000 ( Kostum Laksamana Cheng Ho ). Harga tersebut sudah termasuk tiket masuk ke Kawasan Utama Klenteng Sam Poo Kong, biaya photografer dancetak 2 lembar ( sesuai yang kita pilih ).
Komplek Klenteng Sam Poo Kong terdiri atas sejumlah Bangunan yaitu Klenteng Besar dan gua Sam Po Kong, Klenteng Tho Tee Kong, dan empat tempat pemujaan ( Kyai Juru Mudi, Kyai Jangkar, Kyai Cundrik Bumi dan mbah Kyai Tumpeng).
Klenteng Besar dan gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Po Tay Djien (Zheng He)
Bentuk bangunan klenteng merupakan bangunan tunggal beratap susun. Berbeda dengan tipe klenteng yang lain, klenteng ini tidak memiliki serambi yang terpisah. Pada bagian tengah terdapat ruang pemujaan Sam Po.
Kegiatan dan Perayaan Tahunan
Setelah ratusan tahun sejak pendaratan itu, pada bulan Oktober 1724 diadakan upacara besar-besaran sekaligus pembangunan kuil sebagai ungkapan terima kasih kepada Sam Po Tay Djien. Dua puluh tahun sebelumnya diberitakan bahwa gua yang dipercaya sebagai tempat semedi Sam Po runtuh disambar petir. Tak berselang lama gua tersebut dibangun kembali dan didalamnya ditempatkan patung Sam Po dengan empat anak buahnya yang didatangkan dari Tiongkok. Pada perayaan tahun 1724 tersebut telah ditambahkan bangunan emperan di depan gua.
Perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He merupakan salah satu agenda utama di kota Semarang. Perayaan dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie, di Gang Lombok. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan patung Sam Po Kong di kuil Tay Kak Sie ke Gedong Batu. Patung tersebut kemudian diletakkan berdampingan dengan patung Sam Po Kong yang asli di Gedong Batu.
Perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He merupakan salah satu agenda utama di kota Semarang. Perayaan dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie, di Gang Lombok. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan patung Sam Po Kong di kuil Tay Kak Sie ke Gedong Batu. Patung tersebut kemudian diletakkan berdampingan dengan patung Sam Po Kong yang asli di Gedong Batu.
Tradisi unik ini bermula sejak pertengahan kedua abad ke-19. Pada masa itu, kawasan Simongan dikuasai oleh seorang tuan tanah. Orang-orang yang hendak berkunjung ke kuil Sam Po Kong diharuskan membayar sejumlah uang yang harganya sangat mahal. Karena kebanyakan peziarah tidak mampu membayarnya, kegiatan pemujaan kemudian dialihkan ke kuil Tay Kak Sie. Sebuah replika patung Sam Po Kong kemudian dibuat dan diletakkan di dalam kuil Tay Kak Sie. Setiap tanggal 29 atau 30 bulan keenam menurut penanggalan Imlek Cina, patung duplikat tersebut diarak dari Tay Kak Sie ke Gedong Batu yang dimaksudkan agar patung replika tersebut mendapat berkah dari patung asli yang berada di dalam kuil Gedong Batu.
Pada tahun 1879 atau tahun kelima Guang Xu, kawasan Simongan dibeli oleh Oei Tjie Sien. Oei Tjie Sien merupakan ayah dari Oei Tiong Ham, penderma yang juga dikenal sebagai "Raja Gula Indonesia" pada masa itu.. Sejak saat itu, para peziarah dapat bersembahyang di kuil Gedong Batu tanpa dipungut biaya apapun dan urusan pengurusan kuil diserahkan kepada Yayasan Sam Po Kong setempat. Pawai Sam Po Kong itu dihidupkan kembali pada tahun 1937 dan terus menjadi daya tarik hingga sekarang.
Pada tahun 1879 atau tahun kelima Guang Xu, kawasan Simongan dibeli oleh Oei Tjie Sien. Oei Tjie Sien merupakan ayah dari Oei Tiong Ham, penderma yang juga dikenal sebagai "Raja Gula Indonesia" pada masa itu.. Sejak saat itu, para peziarah dapat bersembahyang di kuil Gedong Batu tanpa dipungut biaya apapun dan urusan pengurusan kuil diserahkan kepada Yayasan Sam Po Kong setempat. Pawai Sam Po Kong itu dihidupkan kembali pada tahun 1937 dan terus menjadi daya tarik hingga sekarang.
Kalau sedang mengunjungi kota Semarang, tempat ini layak menjadi tujuan wisata Anda, karena selain bangunan Arsitekturnya sangat Indah juga kegiatan yang ada di komplek ini sangat menarik. Bahkan saya pernah bertemu dan berbicara dengan turis dari India, Singapore dan China. Kalau tidak menarik, tidak mungkin mereka jauh-jauh datang ke tempat ini.
Let's visit Semarang.......